BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia hidup berdampingan dengan manusia lain dan oleh
sebab itu manusia dijuluki dengan sebutan makhluk sosial karena manusia pada
dasarnya tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.
Untuk dapat hidup berdampingan kita perlu menyesuaikan diri
dengan lingkungan tempat dimana kita tinggal. Oleh karenanya manusia perlu
untuk dapat memahami lingkungan dan orang-orang sekitarnya agar dapat hidup
harmonis. Memahami lingkungan dan memahami tingkah laku seseorang memang
diperlukan agar kita tahu dan dapat bertindak tepat sesuai dengan keadaannya.
Pemahaman yang tepat tentang kondisi emosional atau mood seseorang dapat sangat bermanfaat
dalam berbagai hal. Namun, pemahaman kondisi emosional hanya langkah pertama dari
bahasan dalam psikologi sosial.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang teori atribusi
dari beberapa tokoh psikologi dan macam-macam contoh atribusi yang kita sering
temui di kehidupan sehari-hari. Semoga informasi yang diberikan bermanfaat
untuk kita semua.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari atribusi sosial?
2.
Kapan atribusi sosial dilakukan ?
3.
Bagaimana menganalisis faktor penyebab atribusi sosial?
4.
Apa teori - teori dari atribusi sosial?
5.
Kesalahan – kesalahan apa saja
didalam atribusi sosial ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari
atribusi sosial
2. Untuk mengetahui kapan atribusi
sosial dilakukan
3. Untuk bisa menganalisis faktor
penyebab atribusi sosial
4. Untuk mengetahui teori-teori dari
atribusi sosial
5. Untuk mengetahui kesalahan apa saja
didalam atribusi sosial
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Atribusi Sosial
Menurut
Baron & Byrne, Atribusi sosial adalah proses yang
kita lakukan untuk mencari penyebab dari perilaku orang lain sehingga
mendapatkan pengetahuan mengenai karakteristik stabil dari orang tersebut.
Atribusi sosial ini bersifat abstrak, ambigu, dan normatif. Abstrak berarti
atribusi merupakan abstraksi mental yag berusaha mengubah sesuatu yang sifatnya
konkret-konteksual menjadi sesuatu yang sifatnya abstrak dan umum; ambigu
berarti atribusi merupakan proses pereduksian informasi yang sifatnya tidak
pasti. Perilaku yang sifatnya kompleks direduksi sedemikian rupa menjadi representasi yang
bersifat abstrak. Tentu hal itu dilakukan setelah mengilangkan beberapa bagian
dari konteks perilaku yang dianggap tidak penting; dan normatif berarti
atribusi melibatkan proses penilaian yang kemudian akan dipakai di dalam
memahami, memperbaiki, dan mengendalikan lingkungan.[1]
Kajian tentang atribusi pada awalnya
dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada
dasarnya adalah seorang ilmuan semu yang berusaha untuk mengerti tingkah laku
orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan- potongan informasi
sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebb oang
lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha
untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu.[2]
Atribusi
adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku tertentu.
Menurut Myers, kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan
manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik
perilaku orang lain.[3]
Dalam
melakukan atribusi, kita kadang menganggap cukup dengan informasi-informasi
yang tersedia dalam kognisi kita. Kita tidak merasa perlu untuk memvalidasi
ketercukupan dan kebenaran informasi tersebut. Berdasarkan informasi tersebut,
kita kemudian melakukan penilaian normatif yang tentu saja dipengaruhi oleh
norma subjektif yang diyakini. Dalam konteks ini, perbedaan individual akan
sangat berpengaruh terhadap variabilitas atribusi yang dilakukan. Pujian yang disampaikan orang lain pada
kita, misalnya, bisa diatribusikan sebagai ungkapan yang tulus, munafik, atau
biasa-biasa saja.
Kita
melakukan atribusi karena ingin mengetahui faktor penyebab dari suatu perilaku.
Kita ingin mengetahui mengapa orang tua tidak pernah memberikan pujian, mengapa
seseorang teman selalu menunjukkan perhatian pada kita, mengapa seorang guru
tampak murung di suatu kesempatan, atau mengapa seorang serentetan musibah
menimpa tetangga kita.
Berkaitan dengan atribusi sosial,
Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap atribusi sosial ini .
sebagai realitas yang alami, manusia tiak bisa mengelak dari atribusi sosial.
Maka, islam memberikan pesan moral untuk hati-hati dalam melakukan atribusi
sosial ini, Islam mengajarkan pada kita untuk tidak berburuk sangka, menjauhi
persangkaan tanpa pengetahuan, tidak mudah percaya pada informasi dari orang
Fasik, dan tidak menuduh tanpa bukti. ( QS.Al-Hujaraat (49) : 6).[4]
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.
B.
Kapan Atribusi Sosial Dilakukan
Atribusi sosial
tidak dilakukan setiap saat. Menurut Taylor, Peplau, dan sear (1997) paling tidak ada
dua situasi yang sering kali mengundang dilakukannya atribusi sosial, yaitu:
1.
Situasi yang tidak diharapkan
atau tidak biasa.
Situasi
yang terjadi sesuai dengan harapan, biasanya tidak mengundang atribusi sosial,
sedangkan situasi yang diharapkan akan menggoda kita untuk mengetahui
penyebab-penyebab dari situasi tersebut. Seorang teman yang dikenal penyabar,
tapi tiba-tiba menunjukkan perilaku agresif akan memaksa kita melakukan
atribusi mengenai perilaku agresifnya tersebut.
2.
Situasi negatif, menyakitkan, dan
tiak menyenangkan.
Seorang
mahasiswa yang optimis akan mendapatkan nilai A, karena merasa bisa mengerjakan
semua soal yang diujikan akan melakukan atribusi sosial jika ternyata ia
mendapatkan nilai C atau D. Ia akan mencari-cari jawaban dari peristiwa yang
tidak sesuai harapan tersebut.[5]
C.
Menganalisis Faktor Penyebab
Kita boleh jadi
mengatribusikan perilaku orang lain karena faktor internal atau eksternal.
Faktor penyebab internal adalah faktor yang melekat pada diri kita seperti
pengetahuan, emosi, keterampilan, kepribadian, motivasi, kemampuan metorik,
ataupun usaha, sedangkan faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang
ada di luar diri kita seperti situasi dan kondisi, cuaca, orang lain, alam, dan
lain-lain. Di saat mendapatkan nilai ujian yang tidak sesuia dengan harapan,
kita biasanya mencari-cari faktor-faktor penyebab yang dapat menjelaskan
kejadian yang dianggap tidak menyenangkan tersebut. Kemudian, berdasarkan pemprosesan kognitif yang dilakukan,
kita bisa saja berkesimpulan bahwa nilai buruk tersebut karena kita memang
kurang sungguh-sungguh dalam belajar (internal atau dispositional
attribution).
Perilaku orang lain memberi kita banyak informasi
untuk diolah sehingga bila kita mengobservasinya dengan hati- hati, banyak yang
bisa kita pelajari dari situ. Sampai derajat tertentu itu benar. Namun,
pekerjaan ini tetap saja kompleks. Sering kali individu bertindak bukan karena
sifatnya memang demikian, namun karena dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang
membuat dia tidak punya pilihan lain.[6]
Untuk memahami
suatu perilaku dengan baik, maka faktor-faktor penyebab perilaku tersebut
sebaiknya dianalisis dengan baik pula. Menurut Taylor, Peplau, dan Sear,
terdapat tiga dimensi kausalitas. Pertama, locus of causality atau
apakah faktor penyebab perilaku itu bersumber dari faktor eksternal atau faktor
internal, Kedua, stability atau apakah faktor penyebab tersebut bersifat
stabil atau tidak stabil, dan ketiga controllability atau apakah
penyebab tersebut dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan
1.
Sumber Faktor Penyebab (Locus
of Causality)
Dimensi
ini mengacu pada pertanyaan apakah faktor penyebab perilaku ini bersumber dari
faktor internal atau faktor eksternal. Atribusi terhadap sumber penyebab dari
suatu perilaku mempunyai dua alternatif, yaitu apakah perilaku tersebut
dikarenakan faktor internal atau karena faktor eksternal. Jika teman kita yang
biasanya disiplin tiba-tiba terlambat masuk kantor. Kemungkinan jawaban
terhadap pertanyaan “mengapa teman kita itu terlambat?”, bisa mengacu pada
penyebab perilaku yang bersifat internal (misal: telat bangun tidur, sakit,
sengaja sebagai protes terhadap sistem kerja baru, atau lagi malas masuk
kantor) atau penyebab perilaku yang bersifat eksternal (misal: terjebak macet,
anaknya sakit, ban mobilnya kempes, atau mengantar anak ke sekolah).
Yang harus diingat adalah bagaimana kita menentukan sumber faktor
penyebab suatu perilaku, apakah internal ataupun eksternal, akan mempengaruhi
kesan kita terhadap seseorang. Biasanya, perilaku buruk yang diatribusikan
karena faktor eksternal tidak akan menimbulkan kesan negatif; perilaku baik
yang diatribuasikan karena faktor internal, akan menimbulkan kesan positif; dan
perilaku baik yang diatribusikan karena faktor eksternal, akan menimbulkan
kesan negatif.
2.
Stabilitas Faktor Penyebab (Stability)
Selain pertanyaan “apakah suatu perilaku itu disebabkan oleh
faktor internal atau faktor eksternal?”, pertanyaan lain yang harus dijawab
dalam rangka menganalisis perilaku adalah “apakah faktor penyebab perilaku
tersebut bersifat stabil atau tidak stabil?”. Stabil-tidak stabil di sini
bersifat relatif. Misalnya, “terlambat karena macet” bisa dianggap karena
faktor eksternal yang sifatnya stabil atau tidak stabil. Jika macetnya sudah
menjadi kebiasaan, maka macet bisa dianggap faktor penyebab eksternal yang
bersifat stabil. Lain lagi, jika macet tersebut karena ada kecelakaan lalu
lintas, maka macet tersebut termasuk faktor penyebab eksternal yang bersifat
tidak stabil.
Apakah faktor penyebab tersebut bersifat stabil atau tidak
stabil berpengaruh terhadap bagaimana kita menilai orang lain. Jika perilaku
teman yang telat masuk kantor karena macet tersebut, kita anggap faktor
eksternal stabil, penilaian kita akan lebih negatif dari pada kita anggap
karena faktor eksternal tidak stabil. Hal ini karena berhubungan dengan
kemampuan didalam mengendalikan faktor penyebab. Asumsinya, faktor penyebab
eksternal yang bersifat stabil mestinya dapat diantisipasi. Jika berangkat
kantor jam enam pagi selalu telat karena macet, maka berangkat kantor lebih
pagi mungkin akan menyelesaikan masalah.
3.
Kemampuan Mengendalikan (Controllability)
Dimensi ini menunjukkan pada sejauh mana faktor penyebab perilaku dapat kita kendalikan. Baik faktor penyebab internal-eksternal maupun stabil- tidak stabil bisa bersifat dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan. Faktor penyebab internal yang dapat dikenalikan berhubungan dengan sejauh mana usaha yang kita keluarkan, sedangkan faktor penyebab internal yang tidak dapat dikendalikan berhubungan dengan keterbatasan fisik, tingkat kecerdasan, atau hambatan mental. Faktor penyebab eksternal yang dpat dikendalikan berhubungan dengan faktor-faktor eksternal yang masih bisa diantisipasi atau diatasi, sedangkan faktor penyebab eksternal yang tidak dapat dikendalikan seperti bencana alam, sakit, atau peristiwa-peristiwa mendadak lainnya.[7]
Dimensi ini menunjukkan pada sejauh mana faktor penyebab perilaku dapat kita kendalikan. Baik faktor penyebab internal-eksternal maupun stabil- tidak stabil bisa bersifat dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan. Faktor penyebab internal yang dapat dikenalikan berhubungan dengan sejauh mana usaha yang kita keluarkan, sedangkan faktor penyebab internal yang tidak dapat dikendalikan berhubungan dengan keterbatasan fisik, tingkat kecerdasan, atau hambatan mental. Faktor penyebab eksternal yang dpat dikendalikan berhubungan dengan faktor-faktor eksternal yang masih bisa diantisipasi atau diatasi, sedangkan faktor penyebab eksternal yang tidak dapat dikendalikan seperti bencana alam, sakit, atau peristiwa-peristiwa mendadak lainnya.[7]
D. Teori-teori
Atribusi Sosial
Agar kita bisa memahami dengan baik bagaimana proses atribusi sosial itu
dilakukan Tiga teori atribusi antara lain yaitu : Theory of Naive Psychology
dari Fritz Heider, Corespondent Inference Theory dari Jones dan Davis,
dan Convariation Model dari Harold Kelley
1.
Theory of
Naive Psychology
Kajian diatribusi pada awalnya dilakukan oleh Heider.
Psikologi gestalt mencoba untuk mengenali prinsip-prinsip yang mengatur
bagaimana pikiran membuat penyimpulan tentang dunia dari data indrawi (membuat
data indrawi jadi bermakna). Kita dapat mengatakan bahwa atribusi merupakan
analisis kausal, yaitu penafsiran terhadap sebab-sebab dari mengapa sebuah fenomena
menampilkan gejala-gejala tertentu.
Heider, yang dikenal sebagai bapak dari teori atribusi, percaya bahwa orang
seperti ilmuwan amatir, berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan
mengumpulkan orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka
tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain
bertingkah laku tertentu.
Menurut
Heider, kita secara alamiah dapat mengetahui hubungan sebab-akibat antara
beberapa informasi,. Kita selalu menarik makna dari kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita dan menggunakannya untuk
memahami dunia social. Dengan
menggunakan common sence, kita membuat
kesimpulan bahwa :
a.
Waktu
antara dua peristiwa berpengaruh pada apakah suatu hubungan
sebab-akibat dapat disimpulkan atau tidak.
b.
Urutan
antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya juga berpengaruh pada penentuan
peristiwa mana yang diduga sebagai penyebab, dan peristwa mana yang diduga
sebagai akibat.
c.
Kesamaan
antara dua peristiwa berpengaruh pada apakah suatu hubungan sebab-akibat dapat
diketahui atau tidak
d.
Suatu
peristiwa sering kali dianggap sebagai akubat dari penyebab tunggal.
2. Correspondent Inference Theory
Theory ini dikemukakakn oleh Edward E.Jones dan Keith Davis pada tahun
1965. Teory ini menjelaskan proses yang digunakan orang-orang di dalam
melakukan atribusi internal terutama ketika perilaku yang diamatinya tidak
mudah dipahami. Ada tiga factor yang harus
diperhatikan ketika mengatribusikan duatu perilaku dikarenakan factor disposisional
atau internal
a.
Non-common
effect/ kita cendrung memilih perilaku yang lumrah dan mengandung konsekuensi
yang sifatnya umum.
b.
Low-social
desirability. Kita mempunyai kecendrungan untuk melakukan perilaku-perilaku
yang secara social diharapkan.
c.
Hedibic
relevance atau personalism. Kita mempunyai kecendurang melakukan tindakan
–tindakan yang menguntungkan bagi diri kita sendiri.
Jadi, menurut teory ini, suatu perilaku dapat diatribusikan karena
factor internal jika perilaku tidak umum, rendah nilai harapan sosialnya, dan
memiliki relevansi hedonic yang tinggi
3. Covariation Theory
Kalley mengajukan model proses
atribusi yang tidak lagi merujuk pada intensi. Menurut Kalley, untuk menjadikan
tingkah laku konsisten, orang membuat atribusi personal ketika konsensus dan
kekhususan (distinctivenes) rendah.
Sedangkan pada saat konsensus dan kekhususan orang membuat atribusi stimulus.
Konsensus didefenisikan sebagai sejauh mana orang lain bereaksi terhadap
beberapa stimulus atau kejadian dengan cara yang sama dengan orang yang sedang
kita nilai. Saedangkan, kekhususan adalah sejauh mana seseorang merespons
dengan cara yang sama terhadap stimulus atau kejadian yang berbeda.
Istilah yang juga penting adalah konsistensi yang
didefenisikan sebagai sejauh mana seseoraang merespons stimulus atau situasi
dengan cara yang sama dalam berbagai peristiwa (misalnya, dalam waktu dan
tempat yang berbeda cara meresposnnya tetap sama). Konsistensi juga merupakan
faktor penting dalam menentukan apakah atribusi yang dihasilkan melibatkan
faktor prsonal atau stimulus.[8]
Covariation theory dikemukakan
oleh Harold Kelly pada tahun 1967.Asumsi dasar dari teory ini adalah bahwa dua
kejadian bias dikatakan memiliki hubungan sebabakibat jika diantara keduanya
covary satu sama lain atau jika yang satu berubah, maka yang satunya lagi pun
akan berubah. Teori ini mengemukakan tiga faktor :
a. Consensus, yaitu apakah respons seseorang terhadap suatu stimulus tertentu sama dengan respons orang lain
terhadap stimulus tersebut
b. Konsistensi, yaitu apakah respons seseorang terhadp suatu stimulus
tertentu sama di setiap waktu dan tempat
c. Daya beda, yaitu sejauh mana seseorang memberikan respons yang berbeda
terhadap suartu stimulus tertentu dengan terhadap stimulus lainnya.
Teori
atribusi sosial eksternal, teori ini dikembangkan oleh Kelley (1967) dan
seperti halnya teori Jones & Davis , teori ini didasarkan pada karya
Heider. Akan tetapi , perasaan antara teori Kelley dan Jones & Davis sangat kecil,. Jones & Davis
menitikbaratkan pelaku dalam suatusituasi tertentu sebagai faktor penyebab dari
suatu efek. Kelley di lain pihak lebih menekannya pada unsure lingkungan. Ia
bahkan berusaha untuk tidak memperhitungkan faktor- faktor personal dalam
analisisnya dan mencoba untuk mempergunakan sebanyak mungkin faktor lingkungan
atau faktor lingkungan atau faktor eksternal.[9]
Proses
atribusi didefenisikan oleh Kelly sebagai proses mempersepsi sifat-sifat
dispositional ( yang sudah ada) pada satuan satuan didalam suatu lingkungan.
Kelley membenarkan teori Heider bahwa proses atribusi adalah proses persepsi
dan bahwa persepsi bisa ditunjujan kepada orang atau lingkungan, contoh X
senang menonton acara TV tertentu , maka ada dua kemungkinan , ia bisa
menyatakn bahwa acara itulah menyenangkan ( atribusi eksternal), atau bisa
menyatakan bahwa dirinyalah yang sedang dalam keadaan senang sehinggga ia
menyukai program TV tersebut ( atribusi Internal).[10]
E. Kesalahan-Kesalahan Atribusi Sosial
1. Kesalahan Dasar Atribusi
Kesalahan
dasar atribusi berarti kecendrungan kita untuk mengatribusi berarti
kecendrungan kita untuk mengatribusikan perilaku orang lain karena faktor karakteristik individual daripada karena factor situasi. Kesalahan
dasar atribusi terjadi karena ketika melakukan atribusi , kita lebih fokus pada faktor-faktor yang menonjol dan menarik perhatian. Faktor yang
menonjol dan menarik perhatian . faktor yang menarik perhatian tersebut adalah
perilaku.
Kesalahan atribusi yang mendasar ini
diakibatkan kecenderungan untuk selalu memberi internal dalam melihat perilaku
seeorang. Misalnya di kantor akademik fakultas dakwah dan ilmu komunikasi,
salah seorang petugasnya marah pada salah seorang mahasiswa yang ingin
urusannya serba cepat, atau lebih dulu diselesaikan. Oleh karena itu mahasiswa
tersebut tidak mematuhi aturan-aturan yang ada, petugas akademik tersebut
marah. Orang akan mengambil kesimpulan bahwa pegawai kelurahan merupakan orang
yang pemarah, tidak sabar, dan sebagainya. Cara mengatribusi seperti diatas
mungkin tidak tepat, karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut marah karena
memang didorong oleh factor situasi atau factor eksternal, jadi bukan
semata-mata factor internalnya saja.[11]
2. Actor- Observer Effect
Actor-Observer Effect adalah kecendrungan untuk
menjelaskan perilaku orang lain karena faktor individu, sedangkan perilaku diri
sendiri karena faktor situasi. [12]Proses persepsi dan atribusi sosial
tidak hanya berlaku dalam hubungan antarpribadi, melainkan juga terjadi dalam
hubungan antar kelompok, karena pada hakikatnya prinsip-prinsip yang terjadi
ditingkat individu dapat digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.
Kesesatan disini adalah orang
melihat prilaku orang lain hanya dari factor dalam, sedangkan kalau perilakunya
sendiri hanya dilihatnya dari luar. Misalnya A melihat si B jatuh, si A
beranggapan si B jatuh karena tidak hati-hati. Sedangkan apabila si A sendiri
yang jatuh, si A akan mengatakan dia jatuh karena jalannya licin, sepatunya
rusak, dan sebagainya.
3.
Self
Serving bias
Self seriving bias adalah kecendrungan kita untuk menilai kesuksesan
orang lain karena faktor eksternal, sedangkan kesuksesan diri sendiri karena
faktor internal, dan kecendrungan kita untuk menilai kegagalan orang lain
karena faktor internal, sedangkan kegagalan diri sendiri karena faktor
eksternal.
Apa pun sebab musabab dari bias mengutamakan diri sendiri , bias
tersebut berpeluang menjadi sumber antarindividu. Sering ditemukan kasus dimana
seseorang yang bekerja dengan orang lain dalam suatu proyek bersama, menganggap
dirinyalah, bukan rekan kerjanya, yang lebih besar kontribusinya dalam bekerja.[13]
Kesalahan-kesalahan atribusi
seperti yang sudah dijelaskan juga tergambar dalam Q.S Al-Imron ayat 165 dan Al-A’raf ayat 131 yang berbunyi
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pkön=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÏÎÈ
Artinya : dan mengapa
ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
#sÎ*sù ÞOßgø?uä!%y` èpuZ|¡ptø:$# (#qä9$s% $uZs9 ¾ÍnÉ»yd ( bÎ)ur öNåkö:ÅÁè? ×py¥Íhy (#r稩Üt 4ÓyqßJÎ/ `tBur ÿ¼çmyè¨B 3 Iwr& $yJ¯RÎ) öNèdçȵ¯»sÛ yYÏã «!$# £`Å3»s9ur öNèdusYò2r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÌÊÈ
Artinya : . kemudian apabila
datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena
(usaha) kami". dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab
kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. ketahuilah,
Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.
4.
False
consensus effect
False consensus effect adalah kecendrungan
kita untuk menggunakan penilaian pada diri sendiri sebagai dasar dalam
melakukan penilaian terhadap orang lain.
5. Self-centered Bias
Self Centered Bias adalah kecendrungan kita untuk merasa lebih berkontribusi
terhadap suatu hasil yang dikerjakan bersama orang lain dari pada apa yang
sungguh-sungguh dilakukannya.
Pertengkaran antara suami istri misalnya, sering sekali dipengaruhi oleh
kesalahan ini. Suami kadang mengklaim sebagai orang yang paling berjasa
terhadap kehidupan rumah tangganya, sebaliknya istripun demikian.
6. Blaming The Victim
Blaming the victim adalah kecendrungan kita untuk menyalahkan korban atas nasib yang menimpa dirinya. Kita mengatribusikan musibah
yang dialami orang lain sebagai karena kesalahan dan tanggung jawab si korban. Menurut Fiske dan Taylor (1991), kesalahan atribusi ini terjadi
terutama jika korbannya diketahui, ada keyakinan bahwa korban sebenarnya dapat
mengendalikan situasi, persepsi bahwa tindakan oleh faktor situasi ,dan
persepsi bahwa korban memiiki kebebasan untuk memilih suatu tindakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Atribusi adalah memahami perilaku diri sendiri atau orang
lain dengan menarik kesimpulan tentang apa yang mendasari atau melatarbelakangi
perilaku tersebut. kecenderungan
memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala
sesuatu (sifat ilmuwan manusia), termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang
lain.
Teori atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang
seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita merasa dan mendeskripsikan
perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku
seperti itu.
Untuk menilai orang lain berdasarkan
sifat-sifat, tujuan atau kemampuan tertentu, mengharuskan kita untuk membuat
atribusi atau kesimpulan tentang mereka. Karena kita tidak memiliki akses
tentang pikiran-pikiran pribadi, motif ataupun perasaan orang lain, kita
membuat kesimpulan tentang sifat-sifat mereka berdasarkan perilaku yang dapat
kita amati. Dengan membuat atribusi semacam itu kita dapat meningkatkan
kemampuan kita dalam meramalkan apa yang diperbuat oleh orang tersebut di
kemudian hari.
B.
Saran
Mohon maaf jika pada makalah ini
terdapat banyak kekurangan, kepada Allah kami mohon ampun dan kepada pembaca
kami mohon maaf. Kami juga mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca kepada
makalah ini agar dapat terus memperbaiki kekurangan untuk kedepannya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pambaca dan dapat menambah pengetahuan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
A Baron Robert, Byrne Donn, Psikologi Sosia.2003 Jakarta :
Erlangga
Abdul Rahman Agus, Psikologi
Sosial. 2014 Jakarta: RajaGrafindo Perasada
Chaplin J.P, Kamus Lengkap Psikologi. 2006 Jakarta:RajaGrafindo Perasada
W. sarwono Sarlito, Teori- teori Psikologi Sosial, 2005 Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/07/atribusi/l (Diakses Pada Tanggal 5 April 2017 Pukul 17:30 WIB.
http://nicologylearning.blogspot.co.id/2012/01/atribusi.html
(diakses pada jam 22:19 tanggal
09/04/2017)