Sabtu, 30 September 2017

ATRIBUSI SOSIAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Manusia hidup berdampingan dengan manusia lain dan oleh sebab itu manusia dijuluki dengan sebutan makhluk sosial karena manusia pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.
Untuk dapat hidup berdampingan kita perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat dimana kita tinggal. Oleh karenanya manusia perlu untuk dapat memahami lingkungan dan orang-orang sekitarnya agar dapat hidup harmonis. Memahami lingkungan dan memahami tingkah laku seseorang memang diperlukan agar kita tahu dan dapat bertindak tepat sesuai dengan keadaannya.
Pemahaman yang tepat tentang kondisi emosional atau mood seseorang dapat sangat bermanfaat dalam berbagai hal. Namun, pemahaman kondisi emosional hanya langkah pertama dari bahasan dalam psikologi sosial.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang teori atribusi dari beberapa tokoh psikologi dan macam-macam contoh atribusi yang kita sering temui di kehidupan sehari-hari. Semoga informasi yang diberikan bermanfaat untuk kita semua.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari atribusi sosial?
2.      Kapan atribusi sosial dilakukan ?
3.      Bagaimana menganalisis faktor penyebab atribusi sosial?
4.      Apa teori - teori dari atribusi sosial?
5.      Kesalahan –  kesalahan apa saja didalam atribusi sosial ?





C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pengertian dari atribusi sosial
2.      Untuk mengetahui kapan atribusi sosial dilakukan
3.      Untuk bisa menganalisis faktor penyebab atribusi sosial
4.      Untuk mengetahui teori-teori dari atribusi sosial
5.      Untuk mengetahui kesalahan apa saja didalam atribusi sosial

























BAB I
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Atribusi Sosial
Menurut Baron & Byrne, Atribusi sosial adalah proses yang kita lakukan untuk mencari penyebab dari perilaku orang lain sehingga mendapatkan pengetahuan mengenai karakteristik stabil dari orang tersebut. Atribusi sosial ini bersifat abstrak, ambigu, dan normatif. Abstrak berarti atribusi merupakan abstraksi mental yag berusaha mengubah sesuatu yang sifatnya konkret-konteksual menjadi sesuatu yang sifatnya abstrak dan umum; ambigu berarti atribusi merupakan proses pereduksian informasi yang sifatnya tidak pasti. Perilaku yang sifatnya kompleks direduksi  sedemikian rupa menjadi representasi yang bersifat abstrak. Tentu hal itu dilakukan setelah mengilangkan beberapa bagian dari konteks perilaku yang dianggap tidak penting; dan normatif berarti atribusi melibatkan proses penilaian yang kemudian akan dipakai di dalam memahami, memperbaiki, dan mengendalikan lingkungan.[1]
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada dasarnya adalah seorang ilmuan semu yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan- potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebb oang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu.[2]
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku tertentu. Menurut Myers, kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.[3]
Dalam melakukan atribusi, kita kadang menganggap cukup dengan informasi-informasi yang tersedia dalam kognisi kita. Kita tidak merasa perlu untuk memvalidasi ketercukupan dan kebenaran informasi tersebut. Berdasarkan informasi tersebut, kita kemudian melakukan penilaian normatif yang tentu saja dipengaruhi oleh norma subjektif yang diyakini. Dalam konteks ini, perbedaan individual akan sangat berpengaruh terhadap variabilitas atribusi yang dilakukan. Pujian yang disampaikan orang lain pada kita, misalnya, bisa diatribusikan sebagai ungkapan yang tulus, munafik, atau biasa-biasa saja.
Kita melakukan atribusi karena ingin mengetahui faktor penyebab dari suatu perilaku. Kita ingin mengetahui mengapa orang tua tidak pernah memberikan pujian, mengapa seseorang teman selalu menunjukkan perhatian pada kita, mengapa seorang guru tampak murung di suatu kesempatan, atau mengapa seorang serentetan musibah menimpa tetangga kita.
Berkaitan dengan atribusi sosial, Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap atribusi sosial ini . sebagai realitas yang alami, manusia tiak bisa mengelak dari atribusi sosial. Maka, islam memberikan pesan moral untuk hati-hati dalam melakukan atribusi sosial ini, Islam mengajarkan pada kita untuk tidak berburuk sangka, menjauhi persangkaan tanpa pengetahuan, tidak mudah percaya pada informasi dari orang Fasik, dan tidak menuduh tanpa bukti. ( QS.Al-Hujaraat (49) : 6).[4]        
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

B.                 Kapan Atribusi Sosial Dilakukan
Atribusi sosial tidak dilakukan setiap saat. Menurut Taylor, Peplau, dan sear (1997) paling tidak ada dua situasi yang sering kali mengundang dilakukannya atribusi sosial, yaitu:
1.      Situasi yang tidak diharapkan atau tidak biasa.
Situasi yang terjadi sesuai dengan harapan, biasanya tidak mengundang atribusi sosial, sedangkan situasi yang diharapkan akan menggoda kita untuk mengetahui penyebab-penyebab dari situasi tersebut. Seorang teman yang dikenal penyabar, tapi tiba-tiba menunjukkan perilaku agresif akan memaksa kita melakukan atribusi mengenai perilaku agresifnya tersebut.
2.      Situasi negatif, menyakitkan, dan tiak menyenangkan.
Seorang mahasiswa yang optimis akan mendapatkan nilai A, karena merasa bisa mengerjakan semua soal yang diujikan akan melakukan atribusi sosial jika ternyata ia mendapatkan nilai C atau D. Ia akan mencari-cari jawaban dari peristiwa yang tidak sesuai harapan tersebut.[5]

C.                Menganalisis Faktor Penyebab
Kita boleh jadi mengatribusikan perilaku orang lain karena faktor internal atau eksternal. Faktor penyebab internal adalah faktor yang melekat pada diri kita seperti pengetahuan, emosi, keterampilan, kepribadian, motivasi, kemampuan metorik, ataupun usaha, sedangkan faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang ada di luar diri kita seperti situasi dan kondisi, cuaca, orang lain, alam, dan lain-lain. Di saat mendapatkan nilai ujian yang tidak sesuia dengan harapan, kita biasanya mencari-cari faktor-faktor penyebab yang dapat menjelaskan kejadian yang dianggap tidak menyenangkan tersebut. Kemudian, berdasarkan pemprosesan kognitif yang dilakukan, kita bisa saja berkesimpulan bahwa nilai buruk tersebut karena kita memang kurang sungguh-sungguh dalam belajar (internal atau dispositional attribution).
Perilaku orang lain memberi kita banyak informasi untuk diolah sehingga bila kita mengobservasinya dengan hati- hati, banyak yang bisa kita pelajari dari situ. Sampai derajat tertentu itu benar. Namun, pekerjaan ini tetap saja kompleks. Sering kali individu bertindak bukan karena sifatnya memang demikian, namun karena dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang membuat dia tidak punya pilihan lain.[6]
Untuk memahami suatu perilaku dengan baik, maka faktor-faktor penyebab perilaku tersebut sebaiknya dianalisis dengan baik pula. Menurut Taylor, Peplau, dan Sear, terdapat tiga dimensi kausalitas. Pertama, locus of causality atau apakah faktor penyebab perilaku itu bersumber dari faktor eksternal atau faktor internal, Kedua, stability atau apakah faktor penyebab tersebut bersifat stabil atau tidak stabil, dan ketiga controllability atau apakah penyebab tersebut dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan
1.                  Sumber Faktor Penyebab (Locus of Causality)
Dimensi ini mengacu pada pertanyaan apakah faktor penyebab perilaku ini bersumber dari faktor internal atau faktor eksternal. Atribusi terhadap sumber penyebab dari suatu perilaku mempunyai dua alternatif, yaitu apakah perilaku tersebut dikarenakan faktor internal atau karena faktor eksternal. Jika teman kita yang biasanya disiplin tiba-tiba terlambat masuk kantor. Kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan “mengapa teman kita itu terlambat?”, bisa mengacu pada penyebab perilaku yang bersifat internal (misal: telat bangun tidur, sakit, sengaja sebagai protes terhadap sistem kerja baru, atau lagi malas masuk kantor) atau penyebab perilaku yang bersifat eksternal (misal: terjebak macet, anaknya sakit, ban mobilnya kempes, atau mengantar anak ke sekolah).
 Yang harus diingat adalah bagaimana kita menentukan sumber faktor penyebab suatu perilaku, apakah internal ataupun eksternal, akan mempengaruhi kesan kita terhadap seseorang. Biasanya, perilaku buruk yang diatribusikan karena faktor eksternal tidak akan menimbulkan kesan negatif; perilaku baik yang diatribuasikan karena faktor internal, akan menimbulkan kesan positif; dan perilaku baik yang diatribusikan karena faktor eksternal, akan menimbulkan kesan negatif.

2.                  Stabilitas Faktor Penyebab (Stability)
Selain pertanyaan “apakah suatu perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau faktor eksternal?”, pertanyaan lain yang harus dijawab dalam rangka menganalisis perilaku adalah “apakah faktor penyebab perilaku tersebut bersifat stabil atau tidak stabil?”. Stabil-tidak stabil di sini bersifat relatif. Misalnya, “terlambat karena macet” bisa dianggap karena faktor eksternal yang sifatnya stabil atau tidak stabil. Jika macetnya sudah menjadi kebiasaan, maka macet bisa dianggap faktor penyebab eksternal yang bersifat stabil. Lain lagi, jika macet tersebut karena ada kecelakaan lalu lintas, maka macet tersebut termasuk faktor penyebab eksternal yang bersifat tidak stabil.
Apakah faktor penyebab tersebut bersifat stabil atau tidak stabil berpengaruh terhadap bagaimana kita menilai orang lain. Jika perilaku teman yang telat masuk kantor karena macet tersebut, kita anggap faktor eksternal stabil, penilaian kita akan lebih negatif dari pada kita anggap karena faktor eksternal tidak stabil. Hal ini karena berhubungan dengan kemampuan didalam mengendalikan faktor penyebab. Asumsinya, faktor penyebab eksternal yang bersifat stabil mestinya dapat diantisipasi. Jika berangkat kantor jam enam pagi selalu telat karena macet, maka berangkat kantor lebih pagi mungkin akan menyelesaikan masalah.

3.                  Kemampuan Mengendalikan (Controllability)           
           
Dimensi ini menunjukkan pada sejauh mana faktor penyebab perilaku dapat kita kendalikan. Baik faktor penyebab internal-eksternal maupun stabil- tidak stabil bisa bersifat dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan. Faktor penyebab internal yang dapat dikenalikan berhubungan dengan sejauh mana usaha yang kita keluarkan, sedangkan faktor penyebab internal yang tidak dapat dikendalikan berhubungan dengan keterbatasan fisik, tingkat kecerdasan, atau hambatan mental. Faktor penyebab eksternal yang dpat dikendalikan berhubungan dengan faktor-faktor eksternal yang masih bisa diantisipasi atau diatasi, sedangkan faktor penyebab eksternal yang tidak dapat dikendalikan seperti bencana alam, sakit, atau peristiwa-peristiwa mendadak lainnya.[7]

D.  Teori-teori Atribusi Sosial
Agar kita bisa memahami dengan baik bagaimana proses atribusi sosial itu dilakukan Tiga teori atribusi  antara lain yaitu : Theory of Naive Psychology dari Fritz Heider, Corespondent Inference Theory dari Jones dan Davis, dan Convariation Model dari Harold Kelley

1.              Theory of Naive Psychology
Kajian diatribusi pada awalnya dilakukan oleh Heider. Psikologi gestalt mencoba untuk mengenali prinsip-prinsip yang mengatur bagaimana pikiran membuat penyimpulan tentang dunia dari data indrawi (membuat data indrawi jadi bermakna). Kita dapat mengatakan bahwa atribusi merupakan analisis kausal, yaitu penafsiran terhadap sebab-sebab dari mengapa sebuah fenomena menampilkan gejala-gejala tertentu.
Heider, yang dikenal sebagai bapak dari teori atribusi, percaya bahwa orang seperti ilmuwan amatir, berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan  potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.
Menurut Heider, kita secara alamiah dapat mengetahui hubungan sebab-akibat antara beberapa informasi,. Kita selalu menarik makna dari kejadian-kejadian yang  ada di sekitar kita dan menggunakannya untuk memahami dunia social. Dengan menggunakan common sence, kita membuat  kesimpulan bahwa :
a.         Waktu antara dua peristiwa berpengaruh pada apakah suatu hubungan sebab-akibat dapat disimpulkan atau tidak.
b.         Urutan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya juga berpengaruh pada penentuan peristiwa mana yang diduga sebagai penyebab, dan peristwa mana yang diduga sebagai akibat.
c.         Kesamaan antara dua peristiwa berpengaruh pada apakah suatu hubungan sebab-akibat dapat diketahui atau tidak
d.        Suatu peristiwa sering kali dianggap sebagai akubat dari penyebab tunggal.

2.    Correspondent Inference Theory
Theory ini dikemukakakn oleh Edward E.Jones dan Keith Davis pada tahun 1965. Teory ini menjelaskan proses yang digunakan orang-orang di dalam melakukan atribusi internal terutama ketika perilaku yang diamatinya tidak mudah dipahami. Ada tiga factor yang harus diperhatikan ketika mengatribusikan duatu perilaku dikarenakan factor disposisional atau internal
a.         Non-common effect/ kita cendrung memilih perilaku yang lumrah dan mengandung konsekuensi yang sifatnya umum.
b.         Low-social desirability. Kita mempunyai kecendrungan untuk melakukan perilaku-perilaku yang secara social diharapkan.
c.         Hedibic relevance atau personalism. Kita mempunyai kecendurang melakukan tindakan –tindakan yang menguntungkan bagi diri kita sendiri.
Jadi, menurut teory ini, suatu perilaku dapat diatribusikan karena factor internal jika perilaku tidak umum, rendah nilai harapan sosialnya, dan memiliki relevansi hedonic yang tinggi   

3.    Covariation Theory
Kalley mengajukan model proses atribusi yang tidak lagi merujuk pada intensi. Menurut Kalley, untuk menjadikan tingkah laku konsisten, orang membuat atribusi personal ketika konsensus dan kekhususan (distinctivenes) rendah. Sedangkan pada saat konsensus dan kekhususan orang membuat atribusi stimulus. Konsensus didefenisikan sebagai sejauh mana orang lain bereaksi terhadap beberapa stimulus atau kejadian dengan cara yang sama dengan orang yang sedang kita nilai. Saedangkan, kekhususan adalah sejauh mana seseorang merespons dengan cara yang sama terhadap stimulus atau kejadian yang berbeda.
Istilah yang juga penting adalah konsistensi yang didefenisikan sebagai sejauh mana seseoraang merespons stimulus atau situasi dengan cara yang sama dalam berbagai peristiwa (misalnya, dalam waktu dan tempat yang berbeda cara meresposnnya tetap sama). Konsistensi juga merupakan faktor penting dalam menentukan apakah atribusi yang dihasilkan melibatkan faktor prsonal atau stimulus.[8]
Covariation theory dikemukakan oleh Harold Kelly pada tahun 1967.Asumsi dasar dari teory ini adalah bahwa dua kejadian bias dikatakan memiliki hubungan sebabakibat jika diantara keduanya covary satu sama lain atau jika yang satu berubah, maka yang satunya lagi pun akan berubah. Teori ini mengemukakan tiga faktor :
a.       Consensus, yaitu apakah respons seseorang terhadap suatu stimulus      tertentu sama dengan respons orang lain terhadap  stimulus tersebut
b.      Konsistensi, yaitu apakah respons seseorang terhadp suatu stimulus tertentu sama di setiap waktu dan tempat
c.       Daya beda, yaitu sejauh mana seseorang memberikan respons yang berbeda terhadap suartu stimulus tertentu dengan terhadap stimulus lainnya.

Teori atribusi sosial eksternal, teori ini dikembangkan oleh Kelley (1967) dan seperti halnya teori Jones & Davis , teori ini didasarkan pada karya Heider. Akan tetapi , perasaan antara teori Kelley dan Jones  & Davis sangat kecil,. Jones & Davis menitikbaratkan pelaku dalam suatusituasi tertentu sebagai faktor penyebab dari suatu efek. Kelley di lain pihak lebih menekannya pada unsure lingkungan. Ia bahkan berusaha untuk tidak memperhitungkan faktor- faktor personal dalam analisisnya dan mencoba untuk mempergunakan sebanyak mungkin faktor lingkungan atau faktor lingkungan atau faktor eksternal.[9]
            Proses atribusi didefenisikan oleh Kelly sebagai proses mempersepsi sifat-sifat dispositional ( yang sudah ada) pada satuan satuan didalam suatu lingkungan. Kelley membenarkan teori Heider bahwa proses atribusi adalah proses persepsi dan bahwa persepsi bisa ditunjujan kepada orang atau lingkungan, contoh X senang menonton acara TV tertentu , maka ada dua kemungkinan , ia bisa menyatakn bahwa acara itulah menyenangkan ( atribusi eksternal), atau bisa menyatakan bahwa dirinyalah yang sedang dalam keadaan senang sehinggga ia menyukai program TV tersebut ( atribusi Internal).[10]

E.     Kesalahan-Kesalahan Atribusi Sosial
1.      Kesalahan Dasar Atribusi
Kesalahan dasar atribusi berarti kecendrungan kita untuk mengatribusi berarti kecendrungan kita untuk mengatribusikan perilaku orang lain karena faktor karakteristik individual daripada karena factor situasi. Kesalahan dasar atribusi terjadi karena ketika melakukan atribusi , kita lebih fokus pada faktor-faktor yang menonjol dan menarik perhatian. Faktor yang menonjol dan menarik perhatian . faktor yang menarik perhatian tersebut adalah perilaku.
Kesalahan atribusi yang mendasar ini diakibatkan kecenderungan untuk selalu memberi internal dalam melihat perilaku seeorang. Misalnya di kantor akademik fakultas dakwah dan ilmu komunikasi, salah seorang petugasnya marah pada salah seorang mahasiswa yang ingin urusannya serba cepat, atau lebih dulu diselesaikan. Oleh karena itu mahasiswa tersebut tidak mematuhi aturan-aturan yang ada, petugas akademik tersebut marah. Orang akan mengambil kesimpulan bahwa pegawai kelurahan merupakan orang yang pemarah, tidak sabar, dan sebagainya. Cara mengatribusi seperti diatas mungkin tidak tepat, karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut marah karena memang didorong oleh factor situasi atau factor eksternal, jadi bukan semata-mata factor internalnya saja.[11]
2.      Actor- Observer Effect
Actor-Observer Effect adalah kecendrungan untuk menjelaskan perilaku orang lain karena faktor individu, sedangkan perilaku diri sendiri karena faktor situasi. [12]Proses persepsi dan atribusi sosial tidak hanya berlaku dalam hubungan antarpribadi, melainkan juga terjadi dalam hubungan antar kelompok, karena pada hakikatnya prinsip-prinsip yang terjadi ditingkat individu dapat digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.
Kesesatan disini adalah orang melihat prilaku orang lain hanya dari factor dalam, sedangkan kalau perilakunya sendiri hanya dilihatnya dari luar. Misalnya A melihat si B jatuh, si A beranggapan si B jatuh karena tidak hati-hati. Sedangkan apabila si A sendiri yang jatuh, si A akan mengatakan dia jatuh karena jalannya licin, sepatunya rusak, dan sebagainya.
3.      Self Serving bias
Self seriving bias adalah kecendrungan kita untuk menilai kesuksesan orang lain karena faktor eksternal, sedangkan kesuksesan diri sendiri karena faktor internal, dan kecendrungan kita untuk menilai kegagalan orang lain karena faktor internal, sedangkan kegagalan diri sendiri karena faktor eksternal.
Apa pun sebab musabab dari bias mengutamakan diri sendiri , bias tersebut berpeluang menjadi sumber antarindividu. Sering ditemukan kasus dimana seseorang yang bekerja dengan orang lain dalam suatu proyek bersama, menganggap dirinyalah, bukan rekan kerjanya, yang lebih besar kontribusinya dalam bekerja.[13]
Kesalahan-kesalahan atribusi seperti yang sudah dijelaskan juga tergambar dalam Q.S Al-Imron ayat 165  dan Al-A’raf ayat 131 yang berbunyi
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÏÎÈ  
Artinya : dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

#sŒÎ*sù ÞOßgø?uä!%y` èpuZ|¡ptø:$# (#qä9$s% $uZs9 ¾ÍnÉ»yd ( bÎ)ur öNåkö:ÅÁè? ×py¥ÍhŠy (#r玨©Ütƒ 4ÓyqßJÎ/ `tBur ÿ¼çmyè¨B 3 Iwr& $yJ¯RÎ) öNèdçŽÈµ¯»sÛ yYÏã «!$# £`Å3»s9ur öNèduŽsYò2r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÌÊÈ  
Artinya : . kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

4.       False consensus effect
 False consensus effect adalah kecendrungan kita untuk menggunakan penilaian pada diri sendiri sebagai dasar dalam melakukan penilaian terhadap orang lain.

5.      Self-centered  Bias
Self Centered Bias adalah kecendrungan kita untuk merasa lebih berkontribusi terhadap suatu hasil yang dikerjakan bersama orang lain dari pada apa yang sungguh-sungguh dilakukannya. Pertengkaran antara suami istri misalnya, sering sekali dipengaruhi oleh kesalahan ini. Suami kadang mengklaim sebagai orang yang paling berjasa terhadap kehidupan rumah tangganya, sebaliknya istripun demikian.


6.      Blaming The Victim
Blaming the victim adalah kecendrungan kita untuk menyalahkan korban atas nasib yang menimpa dirinya. Kita mengatribusikan musibah yang dialami orang lain sebagai karena kesalahan dan tanggung jawab si korban. Menurut Fiske dan Taylor (1991), kesalahan atribusi ini terjadi terutama jika korbannya diketahui, ada keyakinan bahwa korban sebenarnya dapat mengendalikan situasi, persepsi bahwa tindakan oleh faktor situasi ,dan persepsi bahwa korban memiiki kebebasan untuk memilih suatu tindakan.

















BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Atribusi adalah memahami perilaku diri sendiri atau orang lain dengan menarik kesimpulan tentang apa yang mendasari atau melatarbelakangi perilaku tersebut. kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (sifat ilmuwan manusia), termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.
Teori atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.
Untuk menilai orang lain berdasarkan sifat-sifat, tujuan atau kemampuan tertentu, mengharuskan kita untuk membuat atribusi atau kesimpulan tentang mereka. Karena kita tidak memiliki akses tentang pikiran-pikiran pribadi, motif ataupun perasaan orang lain, kita membuat kesimpulan tentang sifat-sifat mereka berdasarkan perilaku yang dapat kita amati. Dengan membuat atribusi semacam itu kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam meramalkan apa yang diperbuat oleh orang tersebut di kemudian hari.

B.     Saran
Mohon maaf jika pada makalah ini terdapat banyak kekurangan, kepada Allah kami mohon ampun dan kepada pembaca kami mohon maaf. Kami juga mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca kepada makalah ini agar dapat terus memperbaiki kekurangan untuk kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pambaca dan dapat menambah pengetahuan lagi.


DAFTAR PUSTAKA
A Baron Robert, Byrne Donn, Psikologi Sosia.2003 Jakarta : Erlangga
Abdul Rahman Agus, Psikologi Sosial. 2014 Jakarta: RajaGrafindo Perasada
Chaplin J.P, Kamus Lengkap Psikologi. 2006 Jakarta:RajaGrafindo Perasada
W. sarwono Sarlito, Teori- teori Psikologi Sosial, 2005 Jakarta :  PT  RajaGrafindo Persada
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/07/atribusi/l (Diakses Pada Tanggal 5 April  2017 Pukul 17:30 WIB.






[1] Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial. (Jakarta: RajaGrafindo Perasada,2014),hlm.102.
[2] http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/07/atribusi/l (Diakses Pada Tanggal 5 April  2017 Pukul 17:30 WIB. )


[3] J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (RajaGrafindo Perasada, 2006), hlm. 44.
[4] Agus Abdul Rahman, Ibid,hlm.105
[5] Ibid, hal 106
[6] Robert A. Baron , Donn Byrne, Psikologi Sosial, (Jakarta : Erlangga, 2003), hlm 50
[7] Ibid, hlm 109
[8] Ibid, hlm 112

[9]  Sarlito W. sarwono. Teori- teori Psikologi Sosial, ( Jakarta :  PT RajaGrafindo Persada, 2005). hlm 184
[10]  Ibid, hlm 184

[13] Robert A. Baron , Donn Byrne, Psikologi Sosial, (Jakarta : Erlangga, 2003), hlm 60